Secara sederhana, inflasi adalah kondisi dimana meningkatnya harga barang dan jasa di suatu negara dalam periode tertentu, namun tidak bisa dipukul rata semua kenaikan harga adalah inflasi, seperti misalnya jika toko langganan anda menaikkan harga, itu bukan inflasi. namun jika sebuah lembaga statistik telah menyimpulkan adanya trend kenaikan harga seperti misalnya kenaikan harga bawang, cabai, dan berbagai bahan makanan lain, serta bbm, biaya kesehatan, biaya pendidikan, dan berbagai barang atau jasa lainnya dalam satu periode tertentu, barulah itu bisa disebut inflasi.
Inflasi berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain seperti konsumsi masyarakat yang meningkat, ketidaklancaran distribusi barang, dsb.
Contoh : saat terjadi bencana alam di suatu provinsi, kemudian distribusi bantuan ke daerah tersebut terhambat, maka harga berbagai barang di provinsi tersebut secara otomatis akan meningkat, misalkan uang 50rb yang biasanya bisa digunakan untuk membeli 10kg beras, bisa menjadi hanya bisa untuk membeli 8kg saja setelah bencana alam tersebut.
Dalam kondisi ekonomi normal pun tetap akan terjadi inflasi apabila pertumbuhan populasi meningkat, ini karena permintaan akan barang dan jasa yang naik terus menerus, ilustrasi sederhananya adalah permen yang harganya hanya 25 rupiah pada tahun 1990an, sekarang harganya sudah 100-200 bahkan lebih, jadi inflasi ini juga merupakan proses menurunnya daya beli sebuah mata uang.
Parameter Inflasi
Ada beberapa cara yang digunakan untuk mengukur tingkat inflasi, namun pada umumnya inflasi ditilik berdasarkan indeks harga konsumen (Consumer Price Index/CPI) dan indeks harga produsen (Producer Price Index/PPI).
CPI mengacu pada harga barang dan jasa di tingkat konsumen (harga yang dibayarkan ke toko atau penyedia jasa), sedangkan PPI berdasarkan harga pada tingkat produsen (biaya yang dikeluarkan oleh produsen untuk memproduksi barang dan menyediakan jasa)
Biasanya data-data ini dirilis setiap bulan oleh badan statistik setiap negara, dan menjadi bahan pertimbangan untuk pemerintah mengambil keputusan, juga bank sentral, pengusaha, maupun investor.
Inflasi dibagi kedalam beberapa jenis, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi.
Dalam keadaan normal, tingkat inflasi akan selaras dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebuah negara, diantara negara-negara berkembang biasanya inflasi akan dianggap wajar apabila berada pada kisaran 3-4% per tahun dengan toleransi deviasi antara 1-2%, namun untuk negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, Inggris, dan Jepang, bank sentral biasanya akan menargetkan inflasi hanya 2% saja.
Apabila sampai terjadi inflasi berat atau bahkan hiperinflasi, maka itu bisa mengindikasikan jika negara sedang dalam krisis ekonomi (resesi).
Contoh Hiperinflasi
Presiden Zimbabwe (Robert Mugabe) yang mencetak dolar Zimbabwe secara berlebihan, dimana pada akhirnya kebijakan ini mengakibatkan ketersediaan barang dan jasa menurun, sedangkan jumlah uang yang beredar terus meningkat.
Masyarakat berebut mengeluarkan dana sebesar-besarnya untuk mendapatkan barang yang mereka butuhkan, hal ini memicu kenaikan harga secara drastis hingga jutaan persen, daya beli mata uangnya di dalam negeri anjlok dan nilai tukar terhadap mata uang negara lain (kurs) merosot drastis.
Kekacauan ini bahkan memaksa Zimbabwe untuk meredenominasi mata uangnya dengan menyederhanakan 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe (menghilangkan 10 angka nol).
Sejak tahun 2009 Zimbabwe tidak lagi mencetak uang sendiri, dan masyarakat terpaksa menggunakan mata uang asing seperti dolar AS, Euro, dan Yuan untuk bertransaksi sehari-hari.
Inflasi Ringan
Inflasi ringan justru mempunyai pengaruh yang positif karena dapat mendorong perekonomian sebuah negara menjadi lebih baik, dimana apabila harga-harga meningkat secara moderat, maka keuntungan perusahaan-perusahaan juga akan naik, dan itu dapat mendorong perusahan untuk berekspansi, membuka lebih banyak lapangan kerja, dan memberikan gaji yang lebih tinggi.
Bagi masyarakat umum, inflasi akan membuat orang lebih bergairah untuk bekerja, menabung dan menggandakan investasi, yang pada akhirnya pendapatan negara akan meningkat dan pertumbuhan ekonomi terkendali.
Adanya inflasi akan menguntungkan orang-orang yang pendapatannya meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, seperti misalnya pengusaha atau pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji yang terus ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Inflasi ringan dapat merugikan para penerima pendapatan tetap, spesifiknya seperti pensiunan, penerima pendapatan tetap ini akan kewalahan menanggung dan mengimbangi kenaikan harga barang kebutuhan pokok, sehingga kualitas hidup akan menurun.
Sebagai contoh seseorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990 yang uang pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 (tiga belas tahun kemudian), daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah, yang berarti uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Inflasi Sedang
Inflasi yang lebih tinggi dibanding target bank sentral dapat menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun secara tidak proporsional dengan pertumbuhan ekonomi.
Seumpama seseorang memiliki tabungan, kemudian pendapatan bunganya lebih rendah dibandingkan inflasi, maka ia tidak akan mau menabung lagi, dan apabila masyarakat mulai enggan menabung, maka dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. karena dunia usaha membutuhkan dana untuk berkembang, yang dimana sebagian dana tersebut bersumber dari pinjaman bank yang disalurkan dari tabungan masyarakat, oleh karena itu bank sentral setiap negara biasanya akan menaikkan suku bunga apabila inflasi sampai mencapai target atau lebih.
Inflasi Berat
Sebagaimana seperti contoh kronologi Zimbabwe diatas, apabila inflasi terlalu tinggi atau bahkan terjadi hiperinflasi, maka keadaan perekonomian negara akan menjadi kacau, masyarakat akan menjadi tidak bersemangat untuk bekerja apalagi menabung, terlebih investansi.
Apa Hubungannya dengan Pergerakan Pasar ?
Semua data atau indikator yang bisa menggambarkan kondisi perekonomian sebuah negara tentunya akan membantu trader untuk mengidentifikasi kondisi mata uang negara terkait.
Situasi yang merupakan kebalikan dari inflasi ini adalah deflasi, dimana indikator harga CPI atau PPI bukannya meningkat, melainkan malah menurun, kondisi ini juga disebut "inflasi negatif"
Sama seperti inflasi yang memiliki dampak positif dan dampak negatif, tergantung parah atau tidaknya inflasi itu sendiri, begitupun juga dengan deflasi, coba bayangkan apabila harga barang-barang dan jasa terus menurun, bagaimana perusahaan-perusahaan akan mendapatkan keuntungan ?, dan dari mana mereka akan mendapatkan dana untuk berekspansi dan merekrut karyawan baru ?
Dan jika deflasi semakin parah hingga perusahaan tidak mampu menggaji karyawannya, ini justru akan memicu PHK massal yang mengawali resesi, oleh karena inilah negara-negara maju sangat menghindari deflasi.