Kontroversi KTT G20 dalam Perekonomian Dunia

13/04/2024

Saat ini, negara anggota G20 adalah Argentina, Australia, Brazil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Korea Selatan, Afrika Selatan, Rusia, Arab Saudi, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

Sejak awal pendiriannya pada tahun 1999, G20 bertujuan untuk mendiskusikan stabilitas keuangan internasional dan hutang pemerintah, inilah mengapa negara anggota G20 akan mengirim presiden, menteri keuangan, dan pimpinan bank sentral masing-masing untuk menghadirinya.

Seiring dengan berjalannya waktu, topik pembahasan KTT G20 mulai berevolusi hingga mencakup isu-isu yang berkaitan, seperti pertumbuhan ekonomi global, perdagangan internasional, dan regulasi pasar keuangan.

Dalam beberapa pertemuan KTT G20 terakhir, bahkan mulai membahas pula isu ekonomi digital dan mata uang kripto, disaat yang sama KTT G20 dianggap kurang menyoroti masalah seperti keadilan sosial, demokrasi, dan energi terbarukan, serta abai terhadap ancaman perubahan iklim.

Sejumlah organisasi sayap kiri juga mengkritik G20 sebagai perserikatan yang memperkuat dominasi korporasi kapitalis dalam globalisasi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa KTT G20 memegang peran penting dalam menentukan arah ekonomi dan geopolitik dunia., namun eksklusivitas keanggotaan dan kurangnya transparansi telah mengakibatkan banyak kritik.

Minimnya Keterwakilan Kawasan tertinggal

G20 mengakui bahwa keanggotaannya tidak mengikuti daftar negara dengan perekonomian terbesar di dunia dalam periode kapanpun, karena untuk kriteria keanggotaan, G20 memaparkan : "dalam forum seperti G20, sangat penting bagi jumlah negara yang terlibat terbatas guna memastikan efektivitas dan keberlanjutan aktivitasnya, tidak ada kriteria formal untuk keanggotaan G20, dan komposisinya tidak pernah berubah sejak didirikan, demi mencapai target G20, dianggap penting untuk melibatkan negara-negara dan kawasan yang memiliki signifikansi sistemik terhadap sistem keuangan internasional, aspek seperti keseimbangan geografis dan perwakilan populasi juga memainkan peran penting."

Retorika demikian memancing kritik yang menuduh G20 bersifat eksklusif dan mengucilkan kawasan tertinggal dari kesempatan untuk ikut andil dalam penentuan arah pembangunan global, yang akibatnya G20 dituding ikut andil dalam mempertajam kesenjangan negara miskin - negara kaya.

Bahkan dengan kondisi G20 saat ini yang memasukkan Afrika Selatan, tuduhan serupa tetap ditimpakan kepada KTT G20, karena perwakilan Afrika hanya satu itu saja.

Menggerogoti Legitimasi Lembaga Internasional lain

Dalam sebuah wawancara dengan Der Spiegel, mantan menteri luar negeri Norwegia, Jonas Gahr Støre, menjuluki G20 sebagai salah satu kemunduran terbesar sejak Perang Dunia II, karena 173 negara yang termasuk anggota PBB tidak masuk di dalamnya.

Dengan demikian, dia menilai G20 telah menggerogoti legitimasi organisasi-organisasi internasional yang didirikan untuk mempromosikan kerjasama global pasca Perang Dunia II, termasuk PBB, IMF, dan World Bank.

Kritik serupa disampaikan oleh perwakilan Singapura untuk PBB, menurut mereka, karena keputusan dalam KTT G20 bisa memengaruhi semua negara, baik besar maupun kecil, maka semestinya negara-negara utama non-G20 juga diikutkan dalam diskusi.

Sejalan dengan beragam kritik ini, KTT G20 mengundang kehadiran perwakilan dari negara-negara dan organisasi tertentu. misalnya dari Uni Afrika, APEC, ASEAN, IMF, dan WTO, namun para kritikus menilai kalau kehadiran mereka hanya sekedar numpang nama karena diskusi paling penting antar negara anggota G20 tetap diadakan dalam ruang tertutup.

Tidak bersifat mengikat secara Hukum

Berbeda dengan lembaga seperti PBB, pendirian G20 tidak didasarkan oleh fakta tertentu, G20 tidak  memiliki kantor permanen tertentu dan tidak punya staff tetap, mereka juga tidak memiliki kekuatan hukum untuk memaksa negara-negara anggotanya mengikuti suatu aturan tertentu maupun melaksanakan deklarasi bersama.

Akibatnya, efektifitas penyelenggaraan KTT G20 itu sendiri dipertanyakan, disisi lain biaya penyelenggaraan KTT G20 tidaklah murah dan dianggap membebani anggaran negara tuan rumah.

Hal ini seringkali mematik kemarahan demonstran di berbagai negara, bahkan massa dari kawasan relatif kaya seperti Kanada, demonstrasi saat KTT G20 Toronto merupakan salah satu protes massa terbesar dalam sejarah Kanada.