Jesse Livermore
Di awal abad ke-20, sosok penuh skandal ini menjual saham-sahamnya tepat sebelum gempa bumi melanda San Francisco, keuntungan yang didapatnya dari transaksi trading ini mencapai 3 juta dolar AS, ketagihan dengan kesuksesan itu, Jesse Livermore pun kembali mencari peluang dengan men-short saham.
Dengan melakukan aksi jual sebelum terjadinya market crash di tahun 1907, profit beruntun dari 2 posisi tersebut membuatnya semakin kaya raya, dan memungkinkannya untuk bertaruh dengan dana yang lebih besar di tahun 1929, periode inilah yang menandai masa keemasan Jesse Livermore.
Setelah mendeteksi peluang terjadinya kembali market crash, dia tidak ragu untuk menjual semua sahamnya pada tahun 1929, aksi yang terbilang nekat ini terbayar manis dengan profit sekitar 100 juta dolar AS.
Dengan 3 keberhasilan menjual saham di saat yang tepat, Jesse Livermore praktis mempopulerkan transaksi short-selling sebagai salah satu strategi trading andalan, para profesional di masa kini juga tidak sedikit yang mengimplementasikan prinsip fundamental Jesse Livermore.
Walaupun terkesan berisiko tinggi, Jesse Livermore sebenarnya penuh perhitungan sebelum menggerakkan transaksinya, tidak terburu-buru untuk membuka posisi.
"Jangan pernah mengantisipasi dan bergerak tanpa konfirmasi market, sedikit terlambat dalam transaksi trading adalah asuransi yang menjamin apakah anda benar atau salah" - Jesse Livermore
Paul Tudor Jones
Tahun 1980, Paul Tudor Jones mendirikan Tudor Investment Corporation, berselang 7 tahun setelahnya, dia sukses mengandalkan prinsip Jesse Livermore untuk memprediksi insiden Black Monday, tidak tanggung-tanggung, perusahaan Paul Tudor Jones meraup lebih dari 100 juta dolar AS dari aksi jual yang diterapkan untuk mengantisipasi market crash tersebut.
Tidak seperti Jesse Livermore yang gagal mempertahankan kegemilangannya di akhir hayat, Paul Tudor Jones masih berjaya hingga dekade ini, maret 2014, kekayaan Paul Tudor Jones diperkirakan mencapai 4.3 miliar dolar AS.
Paul Tudor Jones juga masih aktif menyuarakan pandangannya terkait pasar di berbagai media.
"Market hanya bergerak dalam trend sekitar 15% dari total fluktuasinya, selebihnya pasar hanya bergerak sideways" - Paul Tudor Jones
Andrew Hall
Berbanding terbalik dengan kisah Jesse Livermore dan Paul Tudor Jones, transaksi trading yang dilakukan oleh Andrew Hall justru sukses meneguk profit dari posisi long jangka panjang, dia tidak berjibaku di pasar saham, namun mendalami pasar minyak yang menurutnya sudah sangat oversold di tahun 2003.
Transaksi Andrew Hall bermula dari posisinya di Phibro, salah satu divisi trader komoditas Energi di Citigroup, Andrew Hall yang paham betul bagaimana histori naik turun harga minyak berupaya memaksimalkan pengetahuannya untuk meraih profit besar.
Ketika harga minyak merosot ke level $30 per barel di tahun 2003, Andrew Hall justru menempatkan posisi long dan dengan berani memprediksi jika komoditas tersebut akan membubung ke $100 dalam 5 tahun berikutnya.
Estimasi itu terbukti benar, dan Citigroup pun mengoleksi pundi-pundi keuntungan yang melimpah. namun sangat disayangkan bank raksasa tersebut justru mangkir dari kewajibannya membayar bonus Andrew Hall sebesar 100 juta dolar AS.
Citigroup kemudian malah membubarkan Phibro, sehingga perjalanan Andrew Hall bersama Citigroup berakhir hanya setelah satu transaksi trading fenomenal, hingga saat ini nama Andrew Hall masih dikenal sebagai sang dewa minyak.
Belakangan, Andrew Hall mengungkapkan pernyataan penting seputar perkembangan trading minyak, yang dimana menurut Andrew Hall sistem trading otomatis telah merusak dinamika di pasar komoditas ini.
"Berinvestasi di minyak dalam kondisi pasar saat ini dengan pendekatan yang hanya berbasis pada fundamental sudah semakin sulit, tampaknya kesulitan ini akan terus bertahan di masa-masa mendatang"
John Arnold
Trader ini telah merasakan berbagai macam pengalaman di pasar energi, termasuk mengeruk profit sekitar 750 juta dolar AS bagi Enron (sebuah perusahaan kontroversial yang kisahnya diulas dalam sebuah film dokumenter terkenal)
John Arnold membangun perusahaan Hedge Fund sendiri yang bernama Centaurus Advisors, John Arnold dengan jeli menganalisa fundamental Natural Gas sebelum menjual saham-saham yang dia perkirakan akan terpengaruh oleh kondisi tersebut.
Disaat yang sama, perusahaan rival bernama Amaranth LLC justru meyakini bila harga Natural Gas akan meroket karena berkurangnya pasokan di musim dingin 2006, sebaliknya Arnold berpandangan bahwa musim dingin tahun itu tidak akan terlalu berpengaruh terhadap suplai Natural Gas.
Pada akhirnya prediksi Arnold terbukti benar dan diapun mendulang keuntungan hingga 125 juta dolar AS, mayoritas keuntungan tersebut bisa dikatakan datang dari kerugian Amaranth yang begitu besar hingga membuatnya gulung tikar.
John Arnold saat ini telah pensiun dari profesi Hedge Fund Manager, dia lebih memilih berinvestasi sendiri di ladang-ladang pembangkit tenaga surya dan pengembangan kilang minyak di semenanjung Meksiko.
Tahun 2019 sosoknya menempati urutan ke-261 dalam daftar tokoh terkaya versi Forbes, total kekayaannya diperkirakan mencapai 3.3 miliar dolar AS.
George Soros
Nama yang sudah tidak asing lagi di dunia trading dan investasi, sosok yang menggemparkan dunia finansial pada dekade 90-an ini bisa dikatakan melakukan aksi gila dengan bertaruh melawan Poundsterling (GBP) dan perekonomian Inggris.
Namun jika ditelusuri lebih lanjut, tindakan itu sebenarnya bukan suatu hal gila, karena semua langkahnya didasari oleh perhitungan dan analisa yang matang, selain itu George Soros memiliki insting yang terbentuk dari puluhan tahun pengalamannya di pasar.
Ketika George Soros berpandangan bahwa Inggris tidak akan mampu mempertahankan nilai Poundsterling diatas standar minimal European Exchange Rate Mechanism (ERM), diapun tidak segan melakukan aksi jual Poundsterling dalam volume yang luar biasa besar, saking besarnya saat dia sampai perlu berhutang dulu untuk membiayai transaksinya.
Perjuangan itupun terbayar indah, George Soros berhasil mendapat profit fantastis hingga lebih dari 1 miliar dolar AS, disisi lain, Bank of England yang gagal mempertahankan nilai tukar Poundsterling akhirnya mundur dari sistem ERM.
Insiden ini kemudian dikenal sebagai Black Wednesday, yang sekaligus menjadikan George Soros mendapatkan julukan "The Man Who Broke the Pound", menjadi salah satu tokoh legendaris dan sering dimintai saran oleh pemerintah dari berbagai negara terkait kebijakan fiskal.
"Pasar selalu berada di sisi keserakahan atau ketakutan, dari dua hal itu, keserakahan masih lebih baik dibandingkan ketakutan, selama keserakahan itu tidak di luar kendali" - George Soros
David Tepper
Ketika dunia dililit oleh krisis finansial 2009, para investor beramai-ramai menjual aset berisiko tinggi, terutama saham bank (selain sektor properti, perbankan memang mendapat banyak sorotan negatif dalam masa krisis tersebut)
Anehnya, David Tepper justru memborong saham-saham bank besar seperti Bank of America dan Citigroup, investasinya diawali dari analisanya di awal tahun 2008, saat itu David Tepper yakin jika saham-saham blue-chip akan menanjak, namun karena krisis finansial yang mulai menerjang di tahun tersebut, Tepper merugi hingga 25%, bukannya mundur dan menarik investasinya, David Tepper justru menambah posisi di saham perbankan yang saat itu berharga sangat murah.
Setelah beberapa waktu berlalu dan pemerintah AS melakukan intervensi untuk menyelamatkan bank-bank besar yang dianggap too big to fail, saham perbankan kembali naik, dan David Tepper pun mengantongi profit hingga 4 miliar dolar AS.
Perspektifnya sebagai manajer Hedge Fund telah terbukti, David Tepper menafsirkan dengan akurat bahwa krisis akibat subprime mortgage crash akan terus membesar hingga membutuhkan bailout dari pemerintah AS.
Posisi trading fenomenal tersebut menjadikan pendiri Appaloosa Management ini sebagai salah satu investor legendaris, menurut Forbes nilai kekayaan David Tepper di tahun 2018 mencapai 11 miliar dolar AS.