1. Interest Rate (Suku Bunga)
Agresifnya para pelaku pasar dalam merespon naik turunnya suku bunga dapat dengan signifikan mempengaruhi perekonomian suatu negara, yang secara otomatis akan mengakibatkan gejolak pada nilai tukar mata uang negara terkait.
Umumnya, masyarakat hanya mengenali suku bunga dalam konteks hubungan dengan perbankan, yaitu saat akan mengajukan pinjaman misalnya, dimana ketika suku bunga sedang rendah, maka masyarakat cenderung termotivasi untuk mengajukan pinjaman, sedangkan saat suku bunga sedang tinggi maka masyarakat akan enggan untuk meminjam pada bank.
Dalam konteks perekonomian internasional, perubahan suku bunga juga dapat mempengaruhi persepsi dan minat investor asing untuk membawa dananya masuk ke suatu negara, misalnya suku bunga di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara asia tenggara lainnya, maka investor asing akan lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan harapan memperoleh imbal hasil yang lebih tinggi.
Sampai disini, kesimpulannya sederhanya adalah pengaruh suku bunga terhadap perekonomian suatu negara perlu dilihat dari minimal 3 sisi, yaitu :
- Perubahan perilaku konsumen
- Perubahan perilaku pembisnis
- Perubahan perilaku investor
Pengaruh terhadap Sektor Perumahan
Rumah adalah salah satu kebutuhan pokok, ketersediaan yang terjangkau telah menjadi salah satu parameter kesejahteraan hidup di berbagai negara maju, sehingga berbagai data terkait sektor perumahan dirilis untuk memantau kondisinya dari waktu ke waktu, data-data ini juga akan dipantau untuk mengevaluasi kebijakan suku bunga.
Ketika suku bunga rendah, maka orang-orang akan termotivasi untuk mengajukan kredit perumahan, atau yang dikenal di Indonesia dengan nama KPR (Kredit Pemilikan Rumah), ini merupakan keputusan rasional karena biaya bunga yang harus dibayar tentunya akan lebih kecil, bahkan, orang-orang di Denmark bisa mendapatkan bunga meski memiliki utang KPR, karena suku bunga-nya negatif.
Apabila pemerintah dan bank sentral tidak menyiapkan kebijakan lain untuk mengendalikan sektor perumahan pada situasi suku bunga rendah, maka dapat mengakibatkan housing bubble.
Housing bubble ditandai dengan harga perumahan yang melambung tinggi hingga tidak terjangkau bagi mayoritas konsumen potensial, karena permintaan atas perumahan jauh lebih besar ketimbang persediaannya, akibatnya banyak orang takkan mampu lagi untuk membeli rumah, meski suku bunga rendah.
Sebaliknya, saat suku bunga meningkat lagi, maka orang-orang yang sudah memiliki KPR akan dihadapkan pada beban pembayaran bunga yang lebih tinggi, apabila peningkatan bunga tersebut terlalu tinggi, maka bisa mengakibatkan kredit macet.
Pengaruh terhadap Sektor Ketenagakerjaan
Pinjaman perbankan merupakan suatu komponen tak terpisahkan dalam perekonomian saat ini, pembisnis manapun akan membutuhkan jasa perbankan untuk menjalankan aktivitasnya, mulai dari fasilitas pembayaran dan jaminan dalam ekspor-impor, pembayaran gaji karyawan (payroll), hingga kredit usaha.
Ketika suku bunga rendah, para pengusaha di sektor riil akan termotivasi untuk mengajukan pinjaman guna mengembangkan bisnisnya, pinjaman tersebut dapat dipergunakan untuk berbagai hal seperti pengadaan mesin baru, pendirian pabrik baru, pembukaan cabang di wilayah lain, dsb.
Sebagai konsekuensi dari tindakan ini, para pengusaha akan membuka lebih banyak lowongan kerja, seandainya para pengusaha itu tak ingin memperluas usaha pun, biaya bunga pinjaman yang lebih rendah tetap mengurangi beban usaha, sehingga mereka bisa menawarkan gaji yang lebih besar.
Sebaliknya jika suku bunga tinggi, maka dapat mendorong kenaikan beban usaha, sehingga para pembisnis bisa lebih pelit dalam memberikan kenaikan gaji bagi karyawan ataupun merekrut karyawan baru.
Mereka pun akan cenderung akan enggan untuk memperluas usaha karena peningkatan risiko yang ditimbulkan oleh kenaikan bunga tersebut, oleh karenanya bank sentral perlu selalu memastikan kesehatan kondisi sektor ketenagakerjaan sebelum menaikkan suku bunga.
Apabila banyak pengangguran dan gaji stagnan, maka bank sentral dianggap perlu menunda kenaikan suku bunga, meski demikian, tidak lantas berarti suku bunga rendah itu pasti bagus bagi para pembisnis.
Dalam kondisi suku bunga yang sangat rendah, perbankan akan enggan menyalurkan pinjaman pada perusahaan-perusahaan karena imbal hasilnya yang kecil, dimana akhirnya dana yang tersimpan di perbankan bisa jadi dialokasikan ke instrumen investasi lain yang menawarkan keuntungan lebih besar, tetapi berisiko lebih tinggi.
Dalam situasi seperti ini , perusahaan-perusahaan akan kesulitan mendapatkan pinjaman, sedangkan sektor finansial negara menjadi rentan terguncang.
Pengaruh terhadap Aliran Modal
Pengaruh suku bunga terhadap perekonomian yang terbesar sebenarnya berakar pada aliran modal, karena para pelaku investor yang selalu mengejar keuntungan akan menjadikan suku bunga suatu negara sebagai salah satu barometer utama untuk mengukur imbal hasil investasi di negara tersebut.
Umpama suku bunga Amerika Serikat lebih tinggi daripada Jepang, maka orang akan memilih untuk berinvestasi di AS daripada Jepang, tentu ada berbagai pertimbangan lainnya, namun suku bunga merupakan komponen vital yang tidak mungkin diabaikan.
Fenomena ini terlihat saat bank sentral AS menaikkan suku bunganya antara tahun 2017-2018, ketika bank sentral AS memberlakukan suku bunga rendah, aliran modal masuk ke negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam jumlah besar, dan setelah bank sentral AS menaikkan suku bunga-nya, aliran modal keluar dari negara-negara berkembang secara beramai-ramai, hingga nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS anjlok pada kurun waktu yang sama.
Teori inilah yang perlu diperhatikan, jika aliran modal ke suatu negara meningkat, maka permintaan atas mata uangnya juga akan meningkat, sehingga nilai tukar mata uangnya berpotensi akan menguat, dan sebaliknya.
3 pengaruh diatas hanya merupakan beberapa diantara banyak aspek lainnya, namun 3 aspek diatas adalah dasar yang paling cenderung menjadi acuan pertimbangan terhadap kebijakan suku bunga.
2. Gross Domestic Product (GDP)
Merupakan salah satu indikator fundamental utama untuk mengukur pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
Angka pada data GDP ini menyatakan nilai total barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam periode waktu tertentu, dihitung dengan menjumlahkan semua investasi, total konsumsi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor-impor.
Pengamatan GDP dalam trading forex adalah mengamati persentase pertumbuhan secara tahunan (GDP Annual Growth Rate), misalnya jika GDP tahunan pada kuartal I suatu negara meningkat 5%, ini berarti ekonomi negara tersebut telah mengalami pertumbuhan sebesar 5% dibandingkan dengan kuartal I tahun sebelumnya, apabila perekonomian kuat, maka permintaan atas mata uang negara tersebut juga akan meningkat, sehingga nilai tukarnya-pun juga berpotensi akan menguat, sebaliknya jika indikator GDP melambat atau negatif, maka nilai tukar mata uang negara tersebut cenderung akan melemah.
Indikator GDP suatu negara yang negatif selama dua kuartal berturut-turut adalah sebuah tanda jika negara tersebut tengah memasuki resesi, namun untuk memastikan hal ini dalam trading tidak bisa hanya sekedar membandingkan dengan periode sebelumnya saja, perlu penyesuaian dengan indikator-indikator utama lainnya untuk mengkonfirmasi.
Sebagai negara dengan mata uang paling yang banyak diperdagangkan di dunia, data GDP Amerika Serikat adalah yang paling penting untuk para trader perhatikan.
Perilisan data GDP AS bisa menjadi momen yang sangat dapat berdampak signifikan terhadap keadaan pasar.
Setiap kuartal AS merilis data GDP sebanyak 3 kali, yaitu : Advance GDP, Preliminary GDP, dan Final GDP.
Advance GDP
Data ini dirilis sebulan setelah berakhirnya satu periode kwartal, disebut juga sebagai GDP First Release atau Estimated GDP, karena merupakan rilis data paling awal, data ini cenderung memberikan pengaruh cukup besar sekalipun terdapat perbedaan dengan data akhir (Final GDP), karena adanya beberapa data yang belum dihitung seperti data perdagangan dan persediaan barang.
Preliminary GDP
Disebut juga sebagai GDP Second Release, dirilis 2 bulan setelah berakhirnya satu periode kuartal, data ini lebih realistis dibandingkan rilis data sebelumnya, pada data ini Gross Value Added (GVA) atau yang biasa disebut sebagai nilai tambah bruto telah dicantumkan.
Final GDP
Disebut juga sebagai GDP Third Release atau Revised GDP, dirilis 3 bulan setelah berakhirnya satu periode kuartal, pada rilis data ini ada beberapa perbaikan atau revisi dari data sebelumnya.
Final GDP merupakan data yang paling bisa diandalkan dibandingkan kedua data sebelumnya (Advanced GDP & Preliminary GDP), ini karena seluruh data yang dibutuhkan telah terkumpul dengan baik.
*tidak semua negara merilis data GDP dalam tiga tahap seperti AS, pada umumnya hanya 1 atau 2 kali saja perkuartal.
3. NFP AS
NFP adalah kependekan dari Non-Farm Payroll, data ini menggambarkan kondisi ketenagakerjaan di sektor komersil dan industri, mengukur perubahan jumlah tenaga kerja pada periode bulan sebelumnya diluar industri pertanian,
Karena Amerika Serikat adalah negara yang perekonomiannya paling besar dan berpengaruh di dunia, maka rilis data NFP AS jauh lebih berdampak pada pasar dibandingkan rilis data NFP negara lainnya.
Semakin tinggi pertumbuhan angka NFP, maka semakin baik kondisi perekonomian Amerika Serikat.
Kapan dan siapa yang merilis NFP ?
Data NFP AS merupakan bagian dari satu set laporan Employment Situation Report yang dibuat oleh US Bureau Of Labor Statistics (BLS), laporan ini dipublikasikan setiap satu bulan sekali, biasanya pada hari jumat pada minggu pertama setiap bulannya.
Publikasi data NFP bisa ditunda atau dimajukan apabila bertepatan dengan hari libur nasional AS, selain data NFP, laporan BLS juga mencakup tingkat pengangguran, tingkat partisipasi angkatan kerja, dan pendapatan rata-rata per/jam.
Pelaku pasar keuangan yang dicakup oleh data NFP menyumbang sekitar 80% dari Gross Domestic Product (GDP) Amerika Serikat, maka dari itu data NFP ini sangat berguna bagi pemerintah AS untuk menilai kondisi ekonomi yang sedang terjadi, membuat kebijakan ekonomi, juga sebagai acuan untuk memprediksi aktivitas ekonomi di masa mendatang.
Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (FED), secara khusus selalu memberikan perhatian pada data NFP dengan membahasnya dalam rapat kebijakannya, yaitu Federal Open Market Committee (FOMC).
4. Unemployment Rate AS
Data Unemployment Rate (tingkat pengangguran) AS dirilis bersamaan dengan NFP, data ini mengukur jumlah tenaga kerja yang menganggur (tidak bekerja) dan sedang aktif mencari pekerjaan pada periode bulan sebelumnya.
Tingkat pengangguran di suatu wilayah dihitung dengan membagi jumlah pengangguran dengan total angkatan kerja, yang biasanya dirilis dalam periode bulanan.
Data mengacu pada definisi pengangguran adalah ketika orang tidak bekerja atau masih mencari pekerjaan, padahal mereka berada pada usia produktif dan masih mampu bekerja.
Peraturan setiap negara mengenai usia produktif berbeda-beda, namun umumnya usia angkatan kerja dimulai dari usia 16 tahun.
Dalam perekonomian, sumber daya manusia merupakan salah satu dari empat sumber daya utama (modal, sda, sdm, dan kewirausahaan), maka dari itu data tingkat pengangguran ini merupakan parameter penting untuk mengukur kesejahteraan sebuah wilayah.
Apabila sebuah negara memiliki tingkat pengangguran rendah, maka dapat diasumsikan bahwa mesin-mesin perekonomian berjalan lancar, ekspansif, dan gaji karyawan memiliki peluang untuk mengalami peningkatan lebih tinggi.
Sebagai contoh yaitu Jepang yang tingkat penganggurannya di bawah 3%, sebaliknya negara-negara yang dilanda resesi seperti Yunani memiliki tingkat pengangguran sangat tinggi, bahkan lebih dari 25%
Ketika tingkat pengangguran sangat tinggi, ini mengartikan sebagian masyarakat tidak mendapatkankan gaji untuk memenuhi kebutuhannya, yang akibatnya bisa memicu eskalasi konflik sosial, belanja konsumen menurun dan perekonomian mengalami stagnasi atau penurunan.
Sebaliknya jika tingkat pengangguran sangat rendah atau bahkan nyaris nol, perusahaan-perusahaan di sebuah negara akan menjadi kesulitan untuk membuka lowongan kerja. apabila berlangsung dalam waktu lama, maka bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. dalam situasi ini, imigrasi perlu dibuka lebar agar orang-orang berbakat dari wilayah lain bisa mengisi kekosongan sumber daya manusia tersebut.
Jika pengangguran teratasi dan pendapatan masyarakat meningkat, maka pada akhirnya akan mengarah kepada belanja konsumsi yang lebih tinggi, pertumbuhan ekonomi, dan tekanan inflasi yang sesuai ekspektasi, hal ini tentunya akan mendongkrak fundamental ekonomi domestik negara terkait.
Pengaruh terhadap Kebijakan Suku Bunga
Dalam kondisi tingkat pengangguran tinggi, bank sentral dapat menahan diri untuk menaikkan suku bunga karena khawatir kenaikan suku bunga akan menghalangi perusahaan untuk berekspansi, menaikkan gaji karyawan, dan upaya lainnya yang menyerap pengangguran.
Padahal suku bunga ini merupakan indikator daya saing investasi suatu negara, jika suku bunga tak dinaikkan dalam jangka waktu lama, maka investor cenderung akan melepas investasi di negara itu dan beralih ke negara lain yang menawarkan suku bunga lebih tinggi.
Sebaliknya jika kondisi tingkat pengangguran rendah, bank sentral baru akan lebih mungkin untuk mengambil kebijakan menaikkan suku bunga.
Kesimpulannya tinggi-rendahnya tingkat penggangguran ini dapat memicu kebijakan suku bunga yang berarti akan sangat mempengaruhi melemah-menguatnya nilai mata uang negara terkait.
5. Consumer Price Index (CPI)
Data ini memantau perubahan harga rata-rata di tingkat konsumen pada sejumlah jenis barang dan jasa tertentu.
Di Amerika Serikat, pengukuran CPI dibagi atas dua kelompok populasi besar, yaitu keluarga atau individu perkotaan yang dinamakan CPI-U (CPI-Urban) dan pekerja kantoran (clerical worker) yang disebut CPI-W.
Agar ada acuan angka untuk diperbandingkan, Biro Statistik Tenaga Kerja AS menggunakan referensi dasar pada rata-rata perubahan level harga atau indeks rata-rata selama 36 bulan, dari tahun 1982 sampai dengan 1984, angka referensi dasar tersebut adalah 100.
Selanjutnya, Biro Statistik Tenaga Kerja AS melakukan pengukuran dengan formula yang dibuat berdasarkan bilangan referensi dasar tersebut, seperti misalnya jika CPI sama dengan 110, berarti ada kenaikan tingkat harga-harga sebesar 10%, dan apabila CPI 90, berarti terjadi penurunan 10%.
Tentu saja hasil pengukuran tersebut tidak dibuat berdasarkan data yang detail dan menyeluruh, namun diasumsikan cukup mewakili perubahan tingkat harga pada kedua populasi besar tersebut.
Laporan CPI biasanya memuat dua jenis data, yaitu, CPI inti (Core CPI) dan CPI total (Headline CPI), CPI Inti tidak memperhitungkan kategori makanan, minuman, dan bahan bakar yang fluktuasi-nya cukup besar.
Rilis data CPI dinyatakan dalam persentase perubahan dari data sebelumnya (perbulan), dan total persentase dalam setahun dibandingkan dengan data tahun lalu (year-over-year)
Pemerintah dan bank sentral selalu memonitor perubahan CPI dari waktu ke waktu sebagai patokan utama untuk mengetahui tingkat inflasi, di samping beberapa indikator fundamental lainnya, bank sentral selalu melihat perubahan indikator CPI dalam menentukan tingkat suku bunga.
6. Produser Price Index (PPI)
Data yang mengukur perubahan harga jual yang diterima oleh produsen barang dan jasa di suatu negara dalam suatu periode tertentu.
Jika CPI adalah data yang memantau pada tingkat konsumen, maka PPI memantau pada tingkat produsen, perubahan harga di tingkat produsen akan berdampak langsung pada harga beli konsumen.
3 faktor untuk mengukur besaran Producer Price Index berdasarkan tingkatan proses produksi adalah :
- Tingkatan bahan mentah (crude material)
- Produk setengah jadi (intermediate)
- Dan produk final (finished good)
Untuk bahan mentah disebut dengan PPI Commodity Index, yang mengukur perubahan harga bahan-bahan seperti biji besi, alumunium hingga kedelai dan gandum.
Pada tingkatan produk setengah jadi disebut dengan PPI Stage of Processing Index, seperti misalnya kertas, kulit, gula setengah jadi, dll.
Di negara-negara industri, PPI untuk produk final biasanya dinyatakan dalam PPI inti (Core PPI), PPI untuk produk final inilah yang dirilis tiap bulan dan digunakan sebagai referensi.
PPI inti tidak memperhitungkan barang-barang pada PPI Commodity Index yang volatilitasnya tinggi, yaitu bahan bakar dan bahan makanan, meskipun mengurangi akurasi PPI, namun PPI inti lebih bisa dipercaya sebagai referensi untuk jangka panjang, mengingat sering terjadinya ketidak-seimbangan permintaan dan penawaran bahan bakar dan makanan yang akan sangat mempengaruhi kalkulasi PPI untuk jangka panjang.
PPI merupakan indikator awal bagi harga barang dan jasa di tingkat distributor (Wholesale Price Index/WPI) dan CPI, perubahan harga di tingkat produsen akan langsung berdampak pada distributor, retailer, dan pada akhirnya konsumen.
Dari urutan kejadiannya, indikator PPI sebenarnya adalah yang pertama kali menunjukkan tingkat inflasi, sehingga biasa digunakan sebagai patokan untuk memprediksi angka CPI.
Dengan memperhatikan perubahan PPI, para pelaku pasar bisa mengetahui sebab perubahan CPI, jika misalnya CPI naik lebih cepat dibandingkan kenaikan PPI, maka tentunya ada faktor lain yang menyebabkan distributor dan retailer menaikkan harga jualnya, hingga inflasi meningkat lebih besar dari perkiraan.
Kenaikan PPI yang mengindikasikan terjadinya peningkatan harga di tingkat produsen (inflasi) sekaligus menandakan pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya penurunan PPI mengindikasikan perlambatan inflasi.
Apabila perlambatan inflasi berlangsung terus menerus, maka dapat mengancam kondisi perekonomian secara keseluruhan yang tercermin dalam angka Gross Domestic Product (GDP) negatif, inflasi negatif, atau yang disebut juga sebagai deflasi, apabila berkepanjangan maka bisa menimbulkan resesi.
Ini tidak lantas berarti inflasi tinggi itu baik, apabila inflasi terlalu tinggi, maka biaya hidup masyarakat akan membengkak dan berimbas buruk bagi perekonomian, yang terbaik adalah inflasi tumbuh moderat sesuai dengan target yang dipatok bank sentral (inflation targeting).
Untuk mencegah hal yang tak diinginkan, maka ketika terjadi penurunan inflasi terus menerus, maka biasanya bank sentral akan berusaha dengan berbagai tindakan untuk mendongkrak inflasi ke level positif, misalnya dengan menurunkan suku bunga untuk mengimbanginya, sebaliknya jika inflasi melonjak tidak terkendali, maka bank sentral akan berupaya menaikkan suku bunga.
Pengaruhnya terhadap Pasar
Penurunan PPI yang mengindikasikan perlambatan CPI akan memberi tekanan untuk bank sentral menurunkan suku bunga, yang pada akhirnya akan berimbas buruk terhadap nilai tukar mata uang negara terkait.
Sebaliknya kenaikan PPI yang mengindikasikan peningkatan CPI akan memberikan tekanan kepada bank sentral untuk menaikkan suku bunga, yang pada akhirnya dapat memicu penguatan nilai tukar mata uang negara terkait.
7. Core Retail Sales
Data ini menunjukkan level pengeluaran konsumen yang merupakan komponen penggerak perekonomian suatu negara, dimana pengaruhnya terhadap nilai mata uang negara terkait akan cukup besar.
Seperti misalnya di Amerika Serikat, pengeluaran konsumen mengambil porsi 70% dari seluruh aktivitas perekonomian, dan sepertiganya dihasilkan dari penjualan ritel, jika konsumen banyak membelanjakan uangnya, maka perekonomian akan terus tumbuh.
Core Retail Sales adalah data yang tidak memasukkan perhitungan penjualan otomotif, sedangkan data Retail Sales mencakup data secara keseluruhan termasuk penjualan otomotif.
Di Amerika Serikat, penjualan ritel total dinamakan Advance Retail Sales, sedangkan di beberapa negara lain disebut dengan Retail Sales saja. penjualan otomotif mengambil porsi 20% dari penjualan retail total, namun data Retail Sales sangat sedikit sekali memperhitungkan pengeluaran konsumen di sektor jasa, hanya sebagian kecil saja dari konsumsi total yang dimonitor oleh indikator ini.
Selain dibagi menjadi Core Retail Sales dan Retail Sales, rincian data penjualan retail dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu barang konsumsi yang tahan lama (Consumer Durable Doods) dan Consumer Non-Durable Goods (barang yang ketahanannya kurang dari 3 tahun).
Data Penjualan Retail di Amerika Serikat dirilis setiap bulan oleh biro sensus (U.S. Census Bureau)
Pengaruh terhadap Pasar
Secara umum, jika data penjualan retail lebih baik dari yang diperkirakan, mengindikasikan ekonomi sedang tumbuh, dengan banyaknya produk pabrikan yang diserap konsumen, maka pendapatan perusahaan-perusahaan akan meningkat.
Peningkatan pendapatan perusahaan ini membuat mereka kemudian bisa berekspansi dengan menaikkan gaji pegawai, membuka pabrik baru, menciptakan inovasi produk baru, maupun membuka lowongan kerja yang lebih banyak, semua ini merupakan tanda-tanda pertumbuhan ekonomi.
Tumbuhnya perekonomian mencerminkan kekuatan daya beli konsumen dan kecenderungan naiknya tingkat inflasi, kuatnya perekonomian akan menyebabkan menguatnya nilai tukar mata uang.
Sebaliknya jika data penjualan ritel lebih kecil dibandingkan perkiraan maupun angka pada periode sebelumnya, mengindikasikan perekonomian sedang mengalami perlambatan, jika perlambatan terjadi terus-menerus, artinya konsumen enggan mengeluarkan dananya untuk berbelanja.
Pengaruh Retail Sales yang kian lama kian buruk bisa mengakibatkan perusahaan-perusahaan menutup pabrik, melakukan pemecatan karyawan (PHK), ataupun memangkas tunjangan pekerja, hingga mengakibatkan resesi.
Dimana melihat Rilis Data-Data ini ?
Salah satu situs yang paling banyak digunakan oleh para trader untuk memantau jadwal rilis data ekonomi adalah ForexFactory.com, situs ini menyajikan jadwal kegiatan ekonomi beserta tingkat impactnya secara mendetail.
Alternatif :